Rabu, 04 Januari 2012

MYRTO: BUTUH 9 TAHUN UNTUK YAKIN BAHWA TUHAN ADA

Perjalanan Panjang Seorang Perempuan Yunani Menemukan Jalan Islam


Beragam pertanyaan muncul dalam benak Myrto, perempuan asal Athena, Yunani, beberapa menit setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai syarat syahnya ia menjadi seorang muslim.
Myrto masuk Islam pada Agustus 2011. Itu artinya ia benar-benar masih menjadi seorang mualaf. Walau ia masuk Islam atas kesadaran dan pilihannya sendiri, Myrto tak bisa memungkiri pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalanya.

Apakah syahadat ini membuat saya menjadi seorang muslim? Apa sebenarnya muslim itu? Mudahkah menjadi seorang muslim? dan apa yang akan terjadi setelah saya menjadi seorang muslim? Bagaimana jika saya menyesali pilihan saya ini?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikiran Myrto, beberapa menit setelah ia bersyahadat.
"Saya butuh waktu 9 tahun untuk meyakini bahwa Tuhan itu ada dan memilih agama Islam sebagai cara untuk menyembah-Nya," ungkap Myrto mengawali kisahnya memilih Islam sebagai agamanya.
Ia mengaku telah melewati masa-masa sangat berat dalam hidupnya. Ia mengalami trauma yang berat saat masih usia anak-anak sampai masa pubertas dan dewasa, yang membuatnya merasakan kekecewaan yang dalam hingga ia benar-benar menolak mempercayai bahwa Tuhan itu ada, menolak kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Myrto juga merasa tidak puas melihat perilaku para pendeta di Yunani. Tapi ketidakpuasan itu yang lalu mendorongnya untuk mulai membaca segala hal tentang agama.
"Merasa tersiksa, lelah dan putus asa untuk menemukan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya, awalnya saya memilik untuk membaca berbagai tulisan tentang agama, filsafat, dan sejarah. Saya pikir itu lebih baik daripada saya mencari jalan keluar dengan mendatangi tukang ramal, tukang baca kartu tarot, memakai narkoba atau menenggak alkohol," ujar Myrto.
Sebagai perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai tradisional keluarga Yunani kelas menengah, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kebanggaan diri dan martabat, Myrto merasa tidak perlu menjadi bagian dari sebuah kelompok agama atau kelompok filsuf untuk memuaskan kebutuhannya akan kehangatan dan kasih sayang.
"Saya sangat mencintai dan menghormati identas kebudayaan Yunani yang mengalir dalam darah saya, dan saya tidak mau meniru atau memalsukan identitas atau kebangsaan yang lain," tukas Myrto.
Namun pengalaman hidupnya yang pahit, membuatnya mulai mempelajari agama. Yang pertama ia pelajari adalah ajaran Kristen Ortodoks, lalu beralih ke yudaisme, Budha dan terakhir agama Islam. Saat mengenal dan mempelajari Islam, perlahan-lahan Myrto mulai meyakini adanya Tuhan.
"Keyakinan saya terus menguat seiring berjalannya waktu. Pada beberapa titik tertentu, saya mulai mempertanyakan tentang konsep Trinitas, sebuah konsep yang akhirnya saya temukan jawabannya dalam agama Islam," tutur Myrto.
Ia melanjutkan, "Yang saya tahu, Islam adalah agama yang dekat dengan lingkaran wahyu Ilahi. Islam berarti damai dan Muslim berarti orang yang menyerahkan dirinya pada Tuhan dan hanya pada Tuhan, tanpa penyesalan atau mencari keuntungan pribadi. 'Allah' bukan sebuah penemuan baru, itu hanya kata dalam bahasa Arab untuk menyebut Tuhan. Lambang bulan sabit bukanlah simbol mandi darah dan balas dendam, tetapi pengingat bahwa orang-orang muslim menghitung waktu berdasarkan bulan, bukan matahari."
Pada titik pemikiran itu, Myrto merasa dirinya sebagai seorang penganut agama dan bukan seorang agnostik. Pada saat itu, ia sempat pindah ke Inggris untuk melanjutkan kuliahnya. Di negara itulah ia bertemu dengan orang-orang yang ramah dan baik, dan mayoritas orang yang dijumpainya itu adalah muslim, hingga menikah dengan seorang lelaki muslim.
"Saya tidak tahu apakah semua itu pertanda. Tapi setelah itu saya membaca lebih banyak lagi tentang Islam, dan menjadi lebih fokus pada Islam. Selain membaca, saya menonton film-film dokumenter, menghadiri ceramah agama Islam, mengunjungi museum-museum Islam dan ikut kursus belajar agama Islam," papar Myrto.
Lalu pertanyaan itu datang, apakah saya ingin menjadi bagian dari agama yang memiliki banyak penafsiran yang beragam pada isi kitab sucinya? apakah saya mau menjadi bagian dari komunitas agama minoritas di negara saya? dan sederet pertanyaan lainnya yang membuat hatinya bimbang untuk memutuskan untuk masuk Islam.
Pada suatu waktu, Myrto mengaku pernah kecewa, bukan pada agama Islamnya atau Al-Quran-nya, tapi pada penganut Islam-nya sendiri. Namun ia menyadari bahwa ia tidak bisa menyalahkan agama dimana ia menemukan jawaban atas semua pertanyaannya selama ini tentang Tuhan.
"Saya lalu memutuskan untuk memulai hidup sebagai seorang muslim untuk beberapa waktu lamanya, untuk melihat bagaimana rasanya dan melihat apakah hidup sebagai muslim itu berat," ujar Myrto.
Dari situlah ia mengetahui sendiri bahwa Islam bukan agama yang kaku, yang mengekang orang seperti dalam penjara. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat kebaikan, menghindari perbuatan buruk, salat sebanyak yang bisa dilakukan, begitu pula dengan berpuasa, menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang, meningkatkan kemampuan diri dengan belajar setiap hari, dan berusaha untuk menjadi yang terbaik setiap hari.
"Begitulah kehidupan seorang muslim, dan saya jadi yakin bisa hidup sebagai seorang muslim. Saya langsung meninggalkan kebiasaan makan daging babi dan minum minuman beralkohol, dan saya mengenakan jilbab," imbuh Myrto.
"Akhirnya, setelah perjalanan yang panjang, saya membulatkan tekad untuk bersyahadat. Mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah," tandasnya. (kw/nmac)

(EraMuslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar