Namun, Anton Medan telah berubah. Sejak memeluk Islam pada 1992, dia tinggalkan dunia kriminal dan mulai menjadi penyiar agama sebagai seorang da’i.
Awalnya, Anton Medan yang bernama Islam Muhammad Ramdhan Effendi ini mengaku tak mudah memeluk Islam. Latar belakang seorang kriminal menjadi batu sandungan terbesarnya. Dia mengaku pernah tiga kali ditolak masuk Islam.
Kini, Anton Medan berceramah dari penjara ke penjara. Memberikan ‘pencerahan’ kepada para nara pidana yang senasib dengannya dulu. Tak hanya itu, Anton Medan juga mempunyai pesantren bernama At-Taibin dan mendirikan masjid yang diberi nama Tan Hok Liang di Jl. Raya kampung Sawah RT.02 RW.08 Kampung Bulak Rata Kelurahan Pondok Rajeg Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Anton mengaku ikhlas berceramah dari satu penjara ke penjara lainnya. Bagi dia, berbagi pengalaman dengan narapidana adalah sebuah kepuasan batin tersendiri. Dia juga mengatakan hidupnya terasa semakin nikmat karena sebagian hartanya bisa dia gunakan menghidupi yayasan pendidikannya.
Berikut wawancara VIVAnews.com dengan Anton Medan seputar aktivitasnya sekarang:
Bagaimana ceritanya anda bisa memutuskan masuk Islam?
Panjang kalau saya ceritakan semua, sudah banyak saya ceritakan. Intinya saat menjalani hukuman dari penjara ke penjara itu, saya banyak belajar Islam. Di situ saya semakin yakin dan kemudian memutuskan menjadi mualaf.
Siapa yang membimbing anda mengucap Syahadat?
Zainuddin MZ.
Proses Anda masuk Islam?
Awalnya saya ke Yayasan Haji Karim Oei, ke Pak Yunus Yahya. Tapi tiga kali saya ditolak masuk Islam.
[Anton Medan menghela nafas dalam-dalam saat mengenang masa-masa pertamanya masuk Islam]
Alasan Anda ditolak masuk Islam?
Ya karena saya itu dianggap penjahat, bajingan lah. Mungkin dia sering menghadapi mualaf yang tak benar. Mungkin saya dianggap hanya mencari kedok atau bagaimana, saya tak tahu lah.
Anda dianggap bohongan?
Ya itu dia.
Sikap Anda menghadapi penolakan itu?
Saya diam saja. Akhirnya saya ke Zainuddin MZ pada Ramadan 1992. Setelah Nuzulul Quran. Tiga hari setelah syahadat, saya umrah bareng Zainuddin, Nur Iskandar SQ, dan Habib Idrus Zamalul Lail.
Saya sudah paham Islam waktu itu. Selama di (penjara) Cipinang, saya belajar sama orang Muhammadiyah selama dua tahun. Kemudian saya belajar sama orang Persis delapan tahun di penjara Sukamiskin, Cirebon, sampai Nusakambangan dalam kasus penyerangan pospol Cicendo. Belajar sama Nahdlatul Ulama (NU) selama empat tahun sama Gus Dur, Nur Iskandar SQ.
Zainuddin sangat berperan bagi Anda?
Sangat berperan. Kalau kita bisa konsep hablum minannas, saya Qiblatnya ke sana (NU). Kalau vertikal, saya ke Persis. Dan banyak mempelajari kitab Al Hasan. Saya dipenjara lama, belajar di sana. Tapi kalau saya tidak mengadopsi yang lain, susah juga. Saya pelajari semua.
Kalau saya belajar di Muhammadiyah, manajemen, ekonomi, pendidikan, disiplin. Kalau NU hablum minannas-nya. Ibadah muamalahnya. Prinsip saya empat imam ini semua benar. Yang beda hanya penafsiran ayat saja. Lainnya sama saja.
Selama ini, berapa kali Anda naik haji?
Saya haji sekali, wajibnya kan sekali. Umrahnya sudah 16 kali.
Terkait aktivitas Anda ceramah ke Lembaga Pemasyarakatan (LP). Mengapa anda pilih berceramah di hadapan narapidana?
Karena habitat saya dari sana, saya paham mereka. Itu saja. Mereka memang membutuhkan orang-orang seperti saya, Joni Indo. Sebagai figur lah. Teladan mereka untuk bertaubat. Bagaimana sih taubat itu, mereka masih bertanya-tanya.
[Saat berkunjung ke LP Paledang pada Selasa 9 Agustus 2011, Anton sudah ditunggu 1.050 nara pidana untuk mendengarkan ceramahnya. Anton juga dielu-elukan para napi.]
Apa yang Anda tekankan? Mereka kan identik dengan kekerasan?
Pengalaman baik, tobatnya. Kalau pengalaman jelek, mereka di situ PTIK. Perguruan Tinggi Ilmu Kejahatan, bukan Kepolisian. Kan PTIK juga.
Membangun semangat, jangan putus asa. Membangun mereka menjadi orang yang benar. Mengambil hikmah bahwa hidup itu ada dinamika. Semangat hidup itu lah. Membangun karakter, sikap.
Strategi ceramah Anda bagaimana?
Kalau saya, ceramah itu tidak bisa dipaksa. Saya cenderung karena masyarakat kita berfikirnya pragmatis, saya lebih memilih bicara fakta. Karena yang saya pahami Islam itu tidak sekedar dikaji dan dipelajari saja. Tapi harus menjawab problem hidup. Kalau saya memahami Islam seperti itu. Tidak sekedar wacana.
Makanya kalau ada debat, seminar, saya tidak mau hadir. Sebab begini, kata Syeh Abdul Qadir Jaelani, ketika menghadapi kaum duafa, fakir miskin, jangan buka kitab, tapi buka periuk. Artinya yang riil dulu. Apa sih kebutuhan umat itu. Jadi aplikatif.
Respons narapidana mendengarkan ceramah Anda?
Ya kalau menurut saya cukup semangat. Karena selama ini keluhan mereka ustadz dari MUI, dari koordinator dakwah Islami DKI juga hampir dakwah-dakwah di dalam, semua menekankan konsep iman dan taqwa, surga dan neraka. Tapi tidak menjawab problem mereka.
Mungkin background Anda yang berperan penting dalam ceramah-ceramah Anda?
Betul. Kalau dakwah di kalangan pedangdut, kita harus tahu irama dangdut. Kalau tidak tahu kan susah dakwahnya. Kata Roma Irama kan Terlalu…...
Ada kendala yang Anda hadapi terhadap narapidana?
Ya banyak lah. Mau yang kayak gimana banyak sekali. Mulai tahun 94. Biasa kalau ustadz-ustadz ceramah paling lama itu 20 menit. Lebih dari itu diteriaki amin...amin...amin...amin oleh para napi itu. Kan gerah juga ustadz.
Kalau saya ceramah, mau tiga jam juga, mereka betah. Mengalir saja. Nyambung saja karena kita kita habitatnya dari situ.
[Saat ceramah di LP Paledang, para napi mendengarkan ceramah Anton Medan dengan semangat. Mereka meminta Anton sering berkunjung ke LP Paledang untuk memberikan ceramahnya.]
Jadi background mantan napi menjadi keuntungan Anda dalam ceramah itu?
Iya, benar. Biasanya kalau saya datang, ada ustadz ceramah, diumumkan saya datang, ustadz itu mundur. Saya yang ceramah, ustadz itu mundur, ingin mendengarkan saya juga.
Metode dakwah di LP itu berbeda-beda. Misalnya tahanan, narapidana, di kepolisian, tak bisa sama. Kalau ustadz kan materi pondok. Jadi jangan dianggap orang di LP itu tak ngerti. Mereka ngerti, qiroatnya juga jago-jago. Tapi mereka tidak paham ayat yang dia baca. Itu kan jadi masalah tersendiri.
Pengalaman Anda selama di penjara diceritakan juga dalam dakwah?
Sedikit-sedikit kita sampaikan. Sebagai contoh buat mereka.
Di luar Ramadan Anda juga berceramah di LP?
Saya tak pernah berhenti. Saya tinggal datang, para napi dikumpulkan. Semua nyambung. Bayangkan, di Manokwari kan kristen semua, mereka bisa santai dengar saya ceramah. Kan tak mesti ceramah Islam dengan bahasa Arab.
Anda selalu ceramah di LP, tidak bosan?
Anda bisa bayangkan, jangan jauh-jauh. Istri saya juga pasti merasa capek, LP lagi-LP lagi. Kan beda background. Tapi saya sampaikan, orang yang terzalimi itu doanya makbul.
Koordinasi Anda dengan pihak LP bagaimana?
Kalau saya mah tinggal masuk saja. Mau LP mana saya tinggal masuk saja. Mereka kadang-kadang mengundang saya, ngasih amplop, tidak mau saya.
[Anton Medan dengan mudah masuk LP. Itu terbukti saat VIVAnews.com ikut Anton Medan ke LP Paledang, Bogor. Dengan hanya mengetuk pintu, petugas langsung membukakan pintu gerbang.]
Bagaimana dengan yayasan Anda? Informasinya Anda bubarkan sementara?
Puyeng lah ngurus santri banyak, banyak orang tua cuek. Saya agak kesel kecewa, pesantren dianggap pusat rehabilitasi. Anaknya bandel masuk ke pondok. Saya kan kecewa. Saya tak berharap apa-apa. Saya hanya berharap ada generasi yang saya didik bagus. Sementara saya juga maklum orang tuanya dengan UMR minim, dua anak saja sekolah kan jadi masalah. Kemudian saya berfikir, tidak maksimal santrinya.
Pendidikan umum saja ada 23 item mata pelajaran, jadi agamanya gimana, setengah matang kan. Jadi saya ambil inisiatif, sudah, tutup saja pindahin semua. Karena tidak signifikan. Kita mau ambil umum atau agama, ini yang bimbang, goyang. Nggak fokus. Makanya saya bubarkan sementara.
[Saat VIVAnews berkunjung ke At-Tabiin, terlihat 14 ruang kelas dan 60 kamar santri kosong. Ruangan-ruangan itu sedang dalam tahap renovasi.]
Kemarin santrinya berapa?
100 lebih.
Asalnya dari mana saja?
Dari Jakarta dan sekitarnya.
Konsep ke depannya?
Harusnya agama lebih unggul dibanding umum.
Pendidikan umum mereka diperoleh dari mana?
Di sini juga, di sini kan SMP, SMA juga. Tsanawiyah dan Aliyah. Belum ekskulnya, ngga keuber saya lihat. Pesantren lain begitu. Setelah saya minta buat angket, hasilnya apa? Ternyata sama, tidak matang. Agamanya setengah matang, umumnya juga daftar ke negeri juga sulit. Sementara orang tuanya karena gajinya hanya pas-pasan dia hanya maunya lulus. Saya ngga mau. Orang tua protes. Saya maklumi, tapi saya ngga mau salah, berbuat dosa. Masak saya perintahkan guru ini-ini NEM-nya. Saya bilang kalau kalian atur angkanya, kalian saya keluarkan.
Jadi ini saya kembalikan ke pesantren seperti dulu, salafiyah. Ya kitab, nahwu sharaf, tajuwit, dan segala macam.
Non formal?
Iya. Tapi tiga bahasa itu wajib sehari-hari. Saya fikir kalau semua dibahas, agama juga pengetahuan umum. Teknologi juga ada di ayat. Nah, persoalan sistemnya tidak ada, nanti saja saya minta paket C, Paket B kalau mereka mau. Yang saya tekankan adalah aspek manusia itu harus benar dulu.
Manusia yang benar seperti apa yang akan Anda bentuk?
Tahu yang hak dan bathil. Bukan AL Zaytun tapi. Yang penting pedomannya gini, pedoman hidup itu jelas. Kalau Al Quran katakan jangan, ya jangan.
Jadi, konsep islamnya saya tekankan. Karena gratis lagi. Cuman, untuk mereka ke sini, tanggung sendiri, kalau saya tanggung nanti kalau mereka mau pulang ga betah pulang aja sono sendiri. Bisa sesukanya.
Kan pesantren sekarang berlomba-lomba menerapkan kurikulum modern. Kenapa Anda mengambil kebijakan yang tidak populer?
Yang modern itu hanya cari duit. Sekarang kan orang berlomba-lomba membuka lembaga pendidikan orientasinya mencari untung. Kalau saya buka pesantren kan bagaimana rizki yang saya perolah barokah. Alurnya harus jelas.
Kan bukan kebijakan populer? Artinya masyarakat pingin modern?
Itu wajib dan wajar. Harus kita hadapi. Misal apa sih, globalisasi, teknologi, kita hadapi. Bahasa juga. Orang kalau sudah menguasai IT, bahasa Inggris atau mandarin paling minim gajinya tiga juta.
Artinya konsep salafiyah tadi tidak meninggalkan modernitas?
Oh nggak. Cuma maksudnya salafiyah itu kita mau menekankan proses pendidikan yang betul-betul mereka paham agama. Sampai mereka menjadi ahli kitab. Kalau modern kan tidak, lomba pidato doang. Tukang obat bisa pidato. Bisa sulap lagi.
Pengajar bagaimana?
Sudah ada. Pengajar direkturnya Tionghoa. Mungkin kalau kitab fiqih, tajuwit, itu saya ambil dari pesantren salaf. Kan banyak di daerah. Kalau kemarin itu ustadz S1 sarjana paling sedikit satu setengah juta. Sedangkan pesantren saya di sini gratis.
Dananya dari mana?
Saya ada usaha, ada usaha futsal segala macam. Nggak tutup, Allah yang tutup. Yang penting kita yakin. Konsep makkah itu menekankan konsep akhlak, karakter. Ini yang hilang. Maka bangsa kita terpuruk.
Bangsa kita sebagain besar adalah Islam, tapi hanya paham sistem. Sistem itu kan madinah, salat, zakat, ini kan sistem. Dasarnya mereka lupa.
Pernah ada bantuan pemerintah ke yayasan Anda?
Ada bantuan, tapi sampai detik ini saya tak mau terima.
Alasan Anda menolak bantuan pemerintah?
Karena saya ingin jadi pelaku sejarah saja. Kalau minta uang, saya bisa minta saja. Pengusaha China banyak. Tapi apa yang mau saya banggakan, kalau saya dibantu orang lain. Tapi kalau saya bisnis, usaha ada yang bisa saya banggakan. Dan karakter sebagai ustadz terjaga. Al Quran itu setiap saat menyindir manusia. Misal kalau kita terima dari pemerintah, misal camat kita tidak bisa. Bagaimana kita mau kritik dia, kita minta dari dia. Boleh-boleh saja terima. Tapi saya tidak. Saya sendiri, alhamdulillah selama ini bisa jalan.
Yang kemarin, latar belakang santrinya?
Ya umumlah.
Besok santri yang Anda akan bidik?
Mualaf. Pengurusnya juga mualaf. Tapi pengajarnya nahwu sharaf, tajuwit dsb saya ambil dari pesantren salaf. Bagaimana pun belum ada Tionghoa yang ahli kitab. Kalau kitab KUHP banyak yang ngerti.
Fokus mualaf Tionghoa saja atau semua?
khusus Tionghoa.
Yang pribumi tidak Anda terima?
Nggak. Saya khusus mualaf Tionghoa saja. Karena secara kultur berbeda.
Kenapa yang dibidik Mualaf Tionghoa?
Karena begini, banyak orang tuanya Islam, anak-anaknya Islam tapi ga paham Islam. Akhirnya ada yang murtad, bahkan ada yang sudah haji, meninggal habis disalati dibawa ke gunung agung disemayamkan tiga hari. Nah itu kan memberikan inspirasi ke saya dan kultur budayanya masyarakat Tiong Hoa ini kan beda pendekatannya. Nah kalau misal saya campur-campur dengan yang pribumi agak repot. Kita kan tahu, maaf sebelumnya, pribumi ini kan ga mau kerja keras. Itu persoalannya.
Di situ rencananya ada home industri. Mereka belajar agama, bahasa juga ada, usaha buat mereka sendiri. Saya tinggal memodali saja. Mereka usaha untuk hidup mereka sendiri.
Mulai kapan Anda akan menerima santri lagi?
September atau Oktober. Yang pasti itu setelah muktamar PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Pada 23, 24, 25 September di Singkawang, Kalimantan Barat.
Anda calonkan diri jadi Ketua PITI?
Iya.
Kesempatan membeberkan visi misi Anda di PITI?
Betul. Karena saya ini salah satu calon ketua umum. Nah PITI ini lah saya jadikan salah satu alat untuk merekrut seluruh Indonesia dan luar negeri. Kan ga salah dong kalau saya khususkan untuk masyarakat Tionghoa Muslim.
Persiapan Anda apa?
Konsolidasi ke PITI-PITI daerah yang sudah mati saya hidupkan lagi. PITI ini kan tidak beda dengan hantu. Ada nama tapi ga ada wujud.
Daerah mana yang sudah Anda datangi?Seluruh Indonesia. Banyak, hampir semua mati. Sekarang terbentuk kan karena saya punya relasi ustad-ustad yang pribumi saya minta mualaf-mualaf yang ada, saya mau ke mana, lalu saya minta kumpulin. Saya arahkan.
Pernah keluarkan konsep itu Anda pada sesama muslim Tionghoa?
Susah. Mereka kalau diajak ngomong begini susah, ga nyambung. Ada, tapi tertentu. Kecuali sama-sama sesama ustad Tionghoa. Ustad Tionghoa ya ga tertarik.
Susahnya, kendalanya apa?
Pemahaman Islam, perjuangan Islam, mereka belum paham betul orientasi Islam di sini. Ya mereka dukung saya sih. Tapi kalau dipaparkan konsep ini mereka kayak mau dengar kayak tidak. Mereka seperti pesimis.
Kenapa muktamar di Singkawang?
Karena di sana mayoritas Tiong Hoa.
Anggota PITI sekarang berapa?
Saya tak tahu. Karena saya baru saja jadi Ketua PITI Bogor ini karena sebagai syarat menjadi pengurus atau ketua DPP dia harus jadi ketua wilayah dulu.
Sejak kapan Anda jadi ketua wilayah?
Ya sudah setahunan lah.
Kota atau Kabupaten?
Kabupaten Bogor.
Yang ditawarkan kepada PITI nantinya apa?
Ya tidak hanya dakwah bil lisan saja. Tapi juga bil hal. Nah, kemudian satu organisasi itu ketuanya harus keturunan Tionghoa mualaf. Tapi sekretaris, roda organisasi harus pribumi.
Alasannya?
Orang Chinese itu kan jarang yang ngerti organisasi. Kemudian konsepnya ini banyak sekali. Yang pasti saya inginkan mulai periode ini semua calon pengurus harus dilengkapi dengan cv. Kedua diwajibkan debat kandidat, program, visi dan misi. (eh)
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar