Kamis, 02 Februari 2012

4 "LASKAR" MUALLAF DAYAK

Empat "Laskar" Muallaf Dayak Menggantung Asa



SIANG itu, Febri dan ke tiga temannya – Gunawan, Yandi, dan Baihaqi-- bermain kejar-kejaran di pelataran sebuah masjid milik Yayasan Uswatun Hasanah, Pontianak Kalimantan Barat.
Usai pulang sekolah, ke empat sekawan asli suku Dayak ini selalu menghabiskan waktu barang setengah jam untuk menunggu waktu shalat zuhur. 

“Ayo kejar saya sampai dapat!” teriak Febri yang kini duduk di kelas 6 ini nya kepada teman-temannya.
Mendengar tantangan itu, andrenalin Yandi membuncah. Dengan sekuat tenaga, dikejarnya Febri.  Begitulah mereka bergembira bermain hingga berhenti ketika azan shubuh kurang 15 menit. 
Tanpa dikomando, mereka mengambil handuk dan sabun mandi. Setelah azan berkumandang, mereka telah siap dengan pakaian shalat.
Rutinitas harian ini boleh dibilang belum lama dikerjakan mereka. Setidaknya, sejak sekitar tiga tahun terakhir ketika mereka tinggal di yayasan ini. 
Sebelum ini, mereka tinggal di Bengkayang, Kalimantan Barat. Kedua orangtua mereka asli keturunan Dayak dan taat beragama Kristen Khatolik. Bahkan, hampir seluruh kelurga mereka Kristen. Anehnya, keluarga mereka justru yang mengirimkan ke yayasan milik Pesantren Hidayatullah Pontianak. 
“Saya enggak tahu alasan bapak mengirim saya ke sini,” kata Baihaqi yang sebelumnya bernama Andrianos ini. Menurut bocah berambut lurus ini, ketika ayahnya mengantarkannya ke yayasan, ia hanya bilang, “Andrianos, masuklah kau ke Yayasan Uswatun Hasanah. Sekolah yang benar hingga setinggi mungkin.”
Bahkan orangtuanya tidak mempersalahkan masuk Islam.
“Orangtua saya setuju, bahkan mendukung,” tuturnya.
Padahal, menurut siswa kelas 5 SD ini, orangtuanya termasuk penganut Krsiten yang taat.
“Kalau Natal, orangtua kerap menyuruh pulang. Tapi saya berusaha untuk nolak makan yang dalam Islam diharamkan. Alhamdulillah, mereka tidak mempermasalahkannya,” terangnya.
Sejak tinggal di Pesantren, Baihaqi merasakan sesuatu yang baru dan menyenangkan. Ia tinggal bersama teman-teman Muslim dari berbagai daerah. Ia pun harus mengikuti ritme kehidupan di tempat barunya. Seperti shalat, mengaji, dan taklim. Kendati begitu, tapi baginya sungguh menyenangkan.
“Saya merasakan hari-hari saya di sini begitu menggembirakan,” terangnya.
Kini, tidak saja bahagia di tempat barunya itu, tapi juga sedikit banyak tahu tentang Islam. Bahkan, ia telah hafal beberapa surah dari juz ke-30. Kelak, jika sudah besar, bocah yang pendiam ini bercita-cita ingin menjadi kiai.
“Saya mau menjadi kiai, belajar ke tanah Jawa,” harapnya.
Setali tiga uang dengan Febri, bocah lincah asal Melabuh, Bengkayang, Kalbar ini berasal dari keluarga Kristen yang taat. Namun, yang tidak dimengerti Febri, orangtuanya justru mengirimkannya ke Yayasan tersebut.
“Entah, saya hanya disuruh bapak ke sini. Saya ya nurut-nurut saja,” ujarnya.
Tapi, yang Febri tahu, ketika mengirimkannya ke tempat itu, ia hanya disuruh belajar dengan serius hingga setinggi mungkin. Bocah yang suka main bola ini, kini suka pandai mengaji iqra'. Sama dengan Baihaqi, ia juga sangat bahagia bisa tinggal bersama-sama teman muslim lainnya. Kelak, ketika besar, bocah berkulit coklat ini ingin menjadi pemain sepak bola.
“Maunya sih jadi pesebak bola, tapi yang shaleh,” ujarnya sambil tertawa.
Selain Febri dan Baihaqi, Yandi dan Gunawan juga sama-sama berasal dari Bengkayang, Kalbar. Mereka berasal dari satu desa dan kedua orangtua mereka termasuk Kristen. Jadi, ketika berada di Yayasan, mereka sudah sangat akrab dan selalu menghabiskan waktu bersama. Yandi, bocah berusia 10 tahun ini sudah bisa shalat dan mengaji. Begitu juga Gunawan yang telah tinggal tiga tahun telah hafalan surah-surah pendek.
Setiap hari, ke empat bocah ini selalu menghabiskan waktu bersam-sama. Bermain, shalat, mengaji, dan makan. Mereka juga punya cita-cita yang tinggi. Dari Yayasan itu, mereka sedang mengukirnya.
InsyaAllah, saya ingi cita-citaku terwujud di masa depan,” ujar Baihaqi.* 

Rep: Syaiful Anshor
Red: Cholis Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar