Rabu (15/2) menjelang sore, Terminal Kedatangan 1C Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng nampak ramai. Di antara keramaian itu, saya bersama kawan-kawan santri AFKN bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tamu. Penyambutan di bandara seperti ini sesungguhnya jarang kami lakukan, kecuali tamu yang datang itu kami anggap istimewa.
Terlebih penyambutan sekitar pukul 16.00 WIB itu dilengkapi spanduk dan tim hadrat (tradisi di kalangan umat Islam Nuu Waar). Spanduk bertuliskan “Selamat Datang Kepala Suku Besar Asmat Umar Abdullah Kayimtel” itu kami bentangkan di pagar yang berhadapan dengan pintu keluar terminal yang padat sore itu.
Ya, tamu istimewa yang kami maksud adalah seorang Kepala Suku Asmat bersama istri dan anaknya semata wayang. Nama Umar Abdullah Kayimtel sebenarnya bukan nama asli beliau. Nama asli kepala suku yang tinggal di daerah Asmat, Merauke itu sebenarnya Senansius Kayimtel. Sementara istinya Agnes Atem dan anaknya, Ruben Siwir. Tapi semua nama itu akan diubah setelah “sebuah prosesi yang dahsyat” akan mereka lalui. Agnes Atem akan diganti dengan Aisya Khoirunnisa dan Ruben Siwir akan diganti menjadi Salim Abdullah.
Mereka tidak hanya datang bertiga, tapi juga ditemani oleh seorang yang saya kenal. Saya mengenalnya awal bulan Syawal lalu ketika sama-sama hadir dalam acara Syawal Motivation Training santri-santri AFKN di Bogor, Jawa Barat. Dia mengenalkan dirinya Shomad, ya saya memanggilnya Ustadz Shomad. Ustadz Shomad ini ternyata dai AFKN yang bertugas di Merauke, sebuah daerah terjauh pulau paling timur di Indonesia. Dengan menggunakan pesawat saja, perlu waktu 8 jam menuju kota Merauke. Belum lagi perjalanan ke daerah Asmat yang berada di dataran tinggi. Pria yang menikahi wanita asal Sulawesi Selatan ini telah beberapa tahun menjejakkan debut dakwahnya di Merauke.
Ya dia, Ustadz Shomad. Orang yang saya kenal bada Syawal itu. Hanya saja, saat saya melihatnya sore itu di bandara, penampilannya sedikit berbeda, pasalnya ia dilengkapi atribut khas Asmat. Ustadz Shomad-lah yang menemani Bapak Kepala Suku itu datang ke Jakarta. Untuk apa?
Inilah yang saya maksudkan “sebuah proses yang dahsyat”. Sebuah prosesi yang mungkin akan membuat alam ini bergetar, pohon-pohon merunduk, rumput-rumput bergoyang, dan langit menampakkan tanda berbeda. Ah, ini mungkin gambaran yang terlalu saya dramatisir. Tapi biarlah, toh bukan tidak mungkin. Sebab alam ini yang menciptakan adalah Allah SWT dan mereka tunduk dan taat kepada pencipta-Nya. Maka, saat nama Allah diucapkan, alam pasti bergetar.
Kembali pada prosesi dahsyat tadi. Ya, insya Allah, hari Ahad tanggal 19 Februari 2012 (Hari ini, red.) bertempat di Masjid Darussalam, Jati Bening, Pondok Gede, Bapak Kepala Suku Asmat dan keluarganya akan bersaksi untuk kembali pada Islam. Di hadapan para jamaah yang akan hadir, mereka akan mengucapkan Asyhadu Alla Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammad Ar-Rasulullah (Aku Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah dan Aku Bersaksi Bahwa Nabi Muhammad Utusan Allah). Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…wa lilla hilhamd.
Semoga Allah SWT memudahkan rencana ini. Dan yang lebih terpenting, semoga Allah teguhkan niat Bapak Kepala Suku dan keluarga untuk kembali pada Islam. Hingga bertambahlah lagi saudara saya yang seiman. Ya Rabb, sungguh hidayah-Mu bisa datang kepada saja yang Engkau kehendaki.
Sungguh indah penyambutan sore itu. Bandara kian ramai saat rebana-rebana yang sejak tadi sudah disiapkan rekan-rekan santri mulai ditabuh bersahut-sahutan membuat sebuah irama. Para penabuh rebana itu terus memainkan musiknya hingga kami berada di tempat parkiran mobil yang akan membawa tamu istimewa kami ini menuju rumah sewa yang biasa kami sebut posko di Bekasi. Tamu telah pergi, rekan-rekan santri telah beranjak dengan mobil L300. Saya pun segera beranjak pergi ke parkiran motor, mengambil Supra X 125 yang selalu setia menemani perjalananku.
Terlebih penyambutan sekitar pukul 16.00 WIB itu dilengkapi spanduk dan tim hadrat (tradisi di kalangan umat Islam Nuu Waar). Spanduk bertuliskan “Selamat Datang Kepala Suku Besar Asmat Umar Abdullah Kayimtel” itu kami bentangkan di pagar yang berhadapan dengan pintu keluar terminal yang padat sore itu.
Ya, tamu istimewa yang kami maksud adalah seorang Kepala Suku Asmat bersama istri dan anaknya semata wayang. Nama Umar Abdullah Kayimtel sebenarnya bukan nama asli beliau. Nama asli kepala suku yang tinggal di daerah Asmat, Merauke itu sebenarnya Senansius Kayimtel. Sementara istinya Agnes Atem dan anaknya, Ruben Siwir. Tapi semua nama itu akan diubah setelah “sebuah prosesi yang dahsyat” akan mereka lalui. Agnes Atem akan diganti dengan Aisya Khoirunnisa dan Ruben Siwir akan diganti menjadi Salim Abdullah.
Mereka tidak hanya datang bertiga, tapi juga ditemani oleh seorang yang saya kenal. Saya mengenalnya awal bulan Syawal lalu ketika sama-sama hadir dalam acara Syawal Motivation Training santri-santri AFKN di Bogor, Jawa Barat. Dia mengenalkan dirinya Shomad, ya saya memanggilnya Ustadz Shomad. Ustadz Shomad ini ternyata dai AFKN yang bertugas di Merauke, sebuah daerah terjauh pulau paling timur di Indonesia. Dengan menggunakan pesawat saja, perlu waktu 8 jam menuju kota Merauke. Belum lagi perjalanan ke daerah Asmat yang berada di dataran tinggi. Pria yang menikahi wanita asal Sulawesi Selatan ini telah beberapa tahun menjejakkan debut dakwahnya di Merauke.
Ya dia, Ustadz Shomad. Orang yang saya kenal bada Syawal itu. Hanya saja, saat saya melihatnya sore itu di bandara, penampilannya sedikit berbeda, pasalnya ia dilengkapi atribut khas Asmat. Ustadz Shomad-lah yang menemani Bapak Kepala Suku itu datang ke Jakarta. Untuk apa?
Inilah yang saya maksudkan “sebuah proses yang dahsyat”. Sebuah prosesi yang mungkin akan membuat alam ini bergetar, pohon-pohon merunduk, rumput-rumput bergoyang, dan langit menampakkan tanda berbeda. Ah, ini mungkin gambaran yang terlalu saya dramatisir. Tapi biarlah, toh bukan tidak mungkin. Sebab alam ini yang menciptakan adalah Allah SWT dan mereka tunduk dan taat kepada pencipta-Nya. Maka, saat nama Allah diucapkan, alam pasti bergetar.
Kembali pada prosesi dahsyat tadi. Ya, insya Allah, hari Ahad tanggal 19 Februari 2012 (Hari ini, red.) bertempat di Masjid Darussalam, Jati Bening, Pondok Gede, Bapak Kepala Suku Asmat dan keluarganya akan bersaksi untuk kembali pada Islam. Di hadapan para jamaah yang akan hadir, mereka akan mengucapkan Asyhadu Alla Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammad Ar-Rasulullah (Aku Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah dan Aku Bersaksi Bahwa Nabi Muhammad Utusan Allah). Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…wa lilla hilhamd.
Semoga Allah SWT memudahkan rencana ini. Dan yang lebih terpenting, semoga Allah teguhkan niat Bapak Kepala Suku dan keluarga untuk kembali pada Islam. Hingga bertambahlah lagi saudara saya yang seiman. Ya Rabb, sungguh hidayah-Mu bisa datang kepada saja yang Engkau kehendaki.
Sungguh indah penyambutan sore itu. Bandara kian ramai saat rebana-rebana yang sejak tadi sudah disiapkan rekan-rekan santri mulai ditabuh bersahut-sahutan membuat sebuah irama. Para penabuh rebana itu terus memainkan musiknya hingga kami berada di tempat parkiran mobil yang akan membawa tamu istimewa kami ini menuju rumah sewa yang biasa kami sebut posko di Bekasi. Tamu telah pergi, rekan-rekan santri telah beranjak dengan mobil L300. Saya pun segera beranjak pergi ke parkiran motor, mengambil Supra X 125 yang selalu setia menemani perjalananku.
Ustadz Fadzlan Garamatan, dai yang juga sudah malang melintang dakwah di pedalaman Nuu Waar memang tidak hadir saat penjemputan. Beliau sengaja menunggu kedatangan tamu istimewa ini di posko.
Betul saja, setibanya rombongan tamu dan penjemput di posko, Ustadz Fadzlan sudah menanti kehadiran mereka. (Untuk kali ini, jujur nih, saya tidak berada di sana. Sebab, dari bandara saya lansung pulang ke rumah. Tulisan ini saya buat berdasarkan cerita saja. Tapi gak apa-apa ya, semoga tidak mengurangi apa pun).
Tim hadrat pun kembali menyusun iramanya, sambil berbaris bak menyambut sang raja. Betul kan, tamu itu kan raja. Walhasil, perumahan di mana posko AFKN berada menjadi ramai dengan suara-suara yang keluar dari rebana. Kegembiraan menyambut kepala suku ini, seperti kami menyambut saudara lama yang tak pernah berjumpa. Demikian juga dengan Ustadz Fadzlan yang sudah sejak tadi menanti di depan posko yang juga menjadi tempat tinggal beliau dan keluarga.
Ternyata, bapak kepala suku ini pun telah menyiapkan “hadiah” untuk Ustadz Fadzlan. Setelah mereka saling menjabat tangan dan berpelukan, bapak kepala suku langsung memakaikan topi khas suku asmat, tas kecil di kaitkan di leher, dan ikat pinggang yang juga khas suku asmat. Semua hadiah itu terbuat dari anyaman yang khusus dibuat oleh kepala suku. Hadiah lain yang juga diberikan kepala suku itu berupa ukiran kayu yang terdapat lambang AFKN dan di bawahnya bertuliskan “AFKN ASMAT”.
Bagi Ustadz Fadzlan ini hadiah istimewa, serta menyiratkan pesan yang sangat berharga. Terlebih setelah bapak kepala suku itu menyampaikan ucapan terima kasih, dan secara langsung Ustadz Fadzlan diangkat sebagai bagian dari suku asmat. Dan yang lebih penting lagi, kepala suku ini menyerahkan suku asmat untuk disirami dengan dakwah Islam. Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…. Sungguh mereka haus akan ruhani, mereka mendamba cahaya-Mu. Ya Allah sirami mereka dengan hidayah-Mu. Jadikan mereka sebagai pembela-pembela agama-Mu.
Bagi Ustadz Fadzlan, ini tawaran yang menantang. Dalam perjumpaan saya dengan Ustadz Fadzlan keesokannya (16/2), Ustadz Fadzlan berujar, “Kita harus segera masuk ke Asmat.” Ada gelora semangat saat ia mengatakan itu. Semangat seorang putra yang lahir dari tanah Irian. Semangat membawa saudaranya untuk kembali kepada Islam, dan merubah wajah Irian.
Wajah Irian TANPA perang antar suku, TANPA konflik, TANPA kecemburuan sosial, TANPA ketelanjangan, TANPA ketertinggalan, TANPA kebodohan. Diganti dengan wajah Irian yang penuh persaudaraan, kerukunan, saling menghargai dan membantu, kemajuan, dan kecerdasan.
Wajah yang dinaungi dengan cahaya Islam dan dalam naungan kalimat Laa Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah. Doakan kami, Saudaraku. (Ahmad Damanik/AFKN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar