Kaci Starbuck Bingung, Mengapa Harus Dibaptis Dua Kali
muallafs WORLD, WASHINGTON – Kaci Starbuck tumbuh dan besar dalam lingkungan gereja. Ia rajin menghadiri sekolah minggu semenjak masih kanak-kanak.
Bahkan, ia sudah dibaptis sejak bocah. "Pemahamanku tentang ajaran Kristen waktu itu adalah keharusan seorang anak untuk dibaptis. Sebab, jika anda tidak dibaptis, maka anda masuk neraka," kenangnya.
Pemahaman itu tidak terlepas dari dorongan ayahnya yang seorang diaken, pelayan gereja. Ia pun memutuskan untuk dibaptis setelah menghadiri sekolah minggu.
Sebelum melalui proses itu, seorang pendeta bertanya padanya, mengapa dirinya menginginkan melakukan pembaptisan? "Aku jawab. Karena aku mencintai Yesus, dan aku tahu Yesus mencintaiku," tutur Kaci.
Selama bersinggungan dengan gereja, Kaci boleh dibilang sangat aktif dalam kegiatan keagamaan. Untuk perempuan seusianya, hal itu terbilang langka. Begitu aktifnya, hingga ia mendapat julukan "Putri Gereja".
Suatu malam, dalam aktivitas keagamaan, Kaci mendengar seorang pria tengah berbicara tentang pertemuan pertama dengan istrinya. Istrinya itu berasal dari luar AS. Ada satu kesulitan kala ia tengah berkencan. Ia tidak dapat bersentuhan secara fisik seperti memegang tangan dengannya sebelum pernikahan. "Bagiku, cerita itu sangat menarik. Sangat indah untuk berpikir ada komitmen yang sudah dibuat sebelum melangkah lebih jauh," kenang dia.
Beberapa tahun kemudian, orang tua Kaci bercerai. Kepercayaan dirinya terhadap agama mulai goyah. Menurut keyakinan Kaci, ayah dan ibunya merupakan pasangan yang sempurna. Keduanya merupakan aktivis gereja yang aktif dalam setiap kegiatan keagamaan.
Saat itulah, Kaci memutuskan untuk menetap bersama sang ayah, sedangkan dua adiknya mengikuti ibunya, "Aku bertanya-tanya tentang surat Injil Korintus 1:13 tentang cinta dan amal. Mengapa hal itu tidak terjadi pada keluargaku?" tanya dia.
Dalam waktu tiga tahun, akhirnya Kaci pindah ke rumah ibunya. Saat itu pula, Kaci tahu bahwa ibunya tidak lagi ke gereja. Ia menyaksikan bagaimana gereja tidak lagi menjadi prioritas utama. Setelah pindah ke rumah ibunya, Kaci memulai tahun pertamanya di lingkungan baru.
Saat itu, ia bertemu dengan teman sekelas yang ramah. Di hari kedua, Kaci diajak olehnya untuk mengunjungi keluarga dan gerejanya. Ia pun mengiyakan ajakan itu. "Aku begitu terkejut dengan sambutannya. Meski aku seorang yang asing, mereka menyambutku dengan pelukan dan ciuman," kenang Kaci.
Setelah terus-menerus menghabiskan waktu bersama keluarga temannya itu, Kaci mulai diperkenalkan tentang kajian Perjanjian Baru. Mereka tidak bernyanyi atau mendengarkan khotbah.
Perempuan juga tidak diizinkan untuk berbicara selama pertemuan gereja. Natal, Paskah dan hari libur lain juga tidak dirayakan. Anggur dan roti tidak dihidangkan saat hari Minggu.
"Meskipun aku sudah dianggap sebagai Kristen, anggota jemaat ini percaya bahwa aku akan ke neraka jika tidak dibaptis lagi. Inilah pukulan pertamaku terkait keyakinan Kristen," kata dia.
Melihat hal itu, Kaci memutuskan untuk berdialog dengan ibunya. Ia bercerita tentang mengapa harus kembali dibaptis. Padahal dirinya sudah dibaptis waktu kecil. Ia pun bertanya mengapa kewajiban membaca Alkitab hanya sewaktu hari Minggu saja. "Saat itu, aku mulai kritis," ujarnya.
"Aku pun berdoa kepada Tuhan agar mendorongku untuk tetap melakukan hal yang benar. Nyatanya, doaku belum jua terkabul," tambah dia.
Tahun berikutnya, Kaci mulai menapaki jenjang pendidikan perguruan tinggi. Di tahun pertamanya, ia memutuskan untuk bergabung dengan asosiasi mahasiswa pembaptis. Pikirnya, dengan memasuki organisasi itu ia akan mendapatkan jawaban atas kebingungannya. "Aku merasa menemukan sesuatu yang aneh dari organisasi ini," ungkapnya.
Perkenalan
Pada tahun keduanya, Kaci menghabiskan banyak waktu untuk ambil bagian dalam paduan suara gereja Wake Forest. Ia sebenarnya enggan ikut serta dalam kelompok paduan suara, namun karena masalah uang, ia coba acuhkan pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya.
Pada bulan Oktober, Kaci bertemu dengan pria Muslim yang tinggal di asrama. Ia merupakan pria yang ramah. Dengan nyaman, Kaci banyak melontarkan pertanyaan kepada temannya ini. "Dari dialog ini, aku kian mempertanyakan kepercayaanku sendiri. Apakah memang kita dilahirkan untuk agama yang kini aku peluk," ujarnya.
Musim panas berikutnya, Kaci mulai bekerja di sebuah toko buku. Ia pun bersinggungan dengan buku-buku keislaman. Ia pun melirik-lirik Alquran. Rasa penasaran tentang kepercayaan yang dianut pria Muslim itu menjadi pemicunya.
Seolah tak puas, Kaci tergerak untuk mengunjungi masjid. Harapannya ia akan mendapatkan pengetahuan itu secara langsung. "Aku mengunjungi masjid dua kali selama setahun," ungkapnya.
Setelah mencari tahu tentang Islam, Kaci menjadi lebih sensitif terhadap pernyataan yang dibuat tentang Islam.
Ia ikuti kuliah tentang Islam. "Aku merasa apa yang dikatakan dosenku tentang Islam tidaklah benar. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengoreksinya," kata dia.
Di luar studi, Kaci mulai mendukung organisasi yang memperjuangkan hak-hak Muslim. Saat itu pula, ia mulai berhenti mengonsumsi daging babi dan menjadi vegetarian. Ia tidak lagi mengkonsumsi alkohol dan mulai berpuasa di bulan Ramadhan. "Tapi memang saat itu aku belum seutuhnya menjadi Muslim," kenang dia.
Tepat akhir tahun, Kaci mulai melakukan perubahan lain. Rambutnya yang selama ini tergerai ia sembunyikan. "Entah kenapa, aku ingin melakukan ini. Padahal, aku tidak tahu tentang Jilbab. Sebab, tidak semua Muslimah mengenakan jilbab di masjid," ujarnya.
Meski banyak perubahan yang dilakukan, rasa penasaran tentang Islam belumlah tuntas. Kaci lalu mencoba untuk mencari informasi tentang Islam melalui internet. Asyik berselancar di dunia maya, Kaci menemukan situs pernikahan.
Namun, ia tidak berniat mencari pasangan Muslim. Ia hanya mencari seseorang yang tahu tentang Islam. "Aku tulis dalam pesan bahwa aku tidak mencari pasangan. Aku hanya ingin mencari teman yang tahu tentang Islam. Sebab, aku ingin belajar tentang Islam," paparnya.
Tak beberapa lama, balasan yang ditunggu Kaci pun tiba. Ada tiga orang, yakni seorang Muslim yang tengah belajar di AS, satu orang Muslim India yang tengah belajar di Inggris dan satu Muslim Pakistan.
Kaci memulai dialog dengan Muslim yang tengah belajar di AS. Ia pun melontarkan banyak pertanyaan. "Dia menjawab setap pertanyaanku dengan begitu logis. Menurut dia, dalam Islam semua orang adalah sama tanpa memandang warna, umur, ras dan gender. Aku merasakan ada kebersamaan yang kuat dalam Islam," tuturnya.
Saat itulah, Kaci mulai yakin bahwa Islam adalah pilihannya. Ia merasakan Islam telah menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Kaci pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Selepas mengucapkan syahadat, Kaci mulai aktif pergi ke masjid.
"Itu adalah langkah besar pertamaku. Banyak pintu dibuka setelah itu, dan terus dibukakan pintu kemudahan. Aku mulai shalat. Dua pekan kemudian, aku mengenakan jilbab," kenangnya.
Selama paruh terakhir tahun di kampus, Kaci mengambil mata kuliah pilihan: Islam, Kristen, dan Yahudi. Setiap kuliah, Kaci menjadi perwakilan Islam. "Masya Allah, menjadi wakil Islam sangat tepat untuk memberitahu kebenaran tentang Islam dan Allah," pungkasnya.
(ROL)
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Agung Sasongko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar